Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999, disebutkan salah satu tanaman yang dilindungi adalah Anggrek Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum). Wajar saja dilindungi dalam PP tersebut dikarenakan anggrek ini tumbuh endemik di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Artinya tidak ditemukan di daerah lain di manapun di dunia.
Anggrek Tien Soeharto hidup di area terbuka di antara rumput-rumput, pakis-pakisan dan kantong semar (Nepenthes sp.) pada ketinggian 1700-2600 meter di atas permukaan laut, jadi bisa dipastikan ini anggrek dataran tinggi, dan tidak dapat tumbuh baik di bawah ketinggian tersebut. Bila ingin memelihara di dataran rendah maupun menengah harus membuat rumah kaca yang dapat diatur temperaturnya untuk mencapai pertumbuhan optimal Anggrek Tien Soeharto.
Pertama kali ditemukan oleh Rusdy E. Nasution salah seorang peneliti dari Herbarium LBN/LIPI Bogor pada tahun 1976 di Desa Baniara Tele, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Anggrek ini diklasifikasikan sebagai ‘punah di alam liar’ dan tidak dapat dijual secara bebas kecuali sebagai spesimen yang diperbanyak oleh manusia. Saat ini Anda dapat melihatnya di Kebun Raya Bogor.
Penamaan Anggrek Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum) adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Ibu Siti Hartinah Soeharto yang tidak hanya sebatas Ibu Negara saat Presiden Soeharto memerintah namun juga atas usaha beliau yang cukup aktif mengembangkan anggrek di Indonesia. Salah satu bentuk usaha Ibu Tien adalah membuat Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP) yang berada di samping Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di TAIP anda dapat membeli anggrek maupun mendapatkan pengetahuan seputar anggrek.
Anggrek ini berbatang pendek dengan ditutupi oleh daun sebanyak 6 hingga 10 lembar yang membentuk huruf V bila dilihat dari samping. Tandan bunga tumbuh tegak di samping batang sepanjang 50 cm hingga 100 cm yang memuat 10 hingga 20 kuntum bunga dengan diameter cukup kecil berkisar 3,5 cm sehingga terlihat berjauhan. Kelopak bunga berwarna kuning kehijauan dan bibir bunga berwarna putih bertotol-totol merah kecoklatan. Bunga cenderung tebal dan tidak memiliki aroma yang kuat.
Dilihat dari karakteristik bunga Anggrek Tien Soeharto, anggrek ini sangat sulit untuk mendapatkan serangga penyerbuk. Sehingga penyerbukan hanya mengandalkan angin yang bertiup, jadi sangat wajar jika anggrek ini tergolong langka bahkan boleh dikatakan hampir punah. Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baik sangat perlu melestarikan anggrek ini.
Karena keterbatasan sumber daya Anggrek Tien Soeharto, apalagi didukung dengan eksploitasi besar-besaran dan juga habitat aslinya telah berubah menjadi perkebunan kentang, makin sulit bagi peneliti untuk mengembangkan anggrek ini. Melihat potensi potensi dari bentuk dan warna bunga, sudah selayaknya anggrek ini mendapatkan perhatian untuk pengembangan lebih lanjut sebagai bahan silangan.
Dalam dunia medis, anggrek ini tidak tercatat dalam salah satu bahan obat tradisional maupun modern, sehingga mengurangi dampak buruk atas kelestarian anggrek ini. Potensi yang layak dilirik adalah mempromosikan Anggrek Tien Soeharto menjadi bagian dari seni misalnya menjadi inspirasi dalam motif batik ataupun kerajinan tradisional khas Sumatera Utara seperti Ulos dan Songket Sipirok, Batik Batak dan Gorga Batak Toba yang telah mendunia.
Kita patut bersyukur hidup di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati dan juga kerajinan tradisional yang unik di masing-masing daerah, yang berpotensi mendapatkan devisa bagi negara yang tidak hanya bergantung pada pengelolaan gas alam yang juga melimpah, namun hal ini juga berdampak pada kerusakan lingkungan hidup.